Seorang laki-laki, sebagai suami bagi istrinya sekaligus ayah bagi anak-anaknya, dengan kesehariannya berangkat pagi pulang petang. Bahkan tidak sedikit yang berangkat petang pulang pagi. Mereka berlelah-lelah membelah padatnya lalu lintas jalan terbakar teriknya matahari untuk mengantar orderan customer dari aplikasi ponselnya, jalan kaki berkilo-kilo meter menjajakan dagangannya, setia menunggu pembeli menantang dinginnya malam, naik turun ketinggian bangunan yang penuh resiko, menahan kantuk ketika mengendarai mobil yang ia sewakan jasanya, dan berbagai pengorbanan yang mereka lakukan yang tidak lain untuk ada yang dibawa pulang rizki hari itu untuk istri dan anaknya.
Seorang ibu yang menahan sakit demi sakit dalam mengandung selama 9 bulan buah hatinya. Menyapih, menyuap, dikencingi, menggendong, menuntun, memasak makanan keluarga, menyiapkan pakaian, mengkondisikan rumah agar tetap teratur dan bersih, dan beribu pengorbanan lain yang tak cukup diceritakan semua, demi suami dan anak-anak tercintanya.
Seorang santri yang menahan rindu akan orang tua dan kakak adiknya, belajar mencuci bajunya sendiri meski tak terlalu bersih, mengerjakan setumpuk tugas dari gurunya sampai larut malam, puluhan kali mulutnya merapal mengulang ayat demi ayat Al Quran sampai tertidur, belajar qanaah menerima rezeki menu makanan apa adanya dari dapur pondok. Itu semua dilakukan karena pengorbanan sang anak demi masa depannya.
Bung Karno, proklamator kemerdekaan RI, pernah dipenjara 8 bulan tanpa proses pengadilan, dibuang dan diasingkan di Ende selama 4 tahun.
Bung Hatta, Wakil Presiden pertama negara kita, dalam hidupnya tidak mampu bayar listrik hingga tak mampu beli sepatu yang diimpikannya sampai akhir hayat.
Jendral Soedirman harus menempuh ratusan kilometer menahan sakitnya karena hanya bernafas dengan satu paru-parunya, dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Kita juga pernah dengar kisah KH. Imam Zarkasyi dam KH. Ahmad Sahal yang berebutan ingin tetap tinggal di pondok Gontor menghadapi PKI. Dan masih banyak berbagai kisah pengorbanan pahlawan, ulama dan santri kita untuk Indonesia yang dicintainya.
Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq yang rela mempertaruhkan nyawanya ketika menemani Rasulullah hijrah, Sayyidina Umar bin Khattab yang semakin kurus dan berubah warna kulitnya semenjak jadi pemimpin kaum muslimin karena kesederhanaannya dan mengutamakan rakyatnya.
Sayyidina Utsman bin Affan yang membeli sumur Raumah dan menyedekahkan seluruh muatan kafilah dagangnya untuk masyarakat, serta Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang rela menggantikan posisi Rasulullah tidur ketika diserang kafir Quraisy.
Rasulullah Muhammad saw, yang seluruh waktunya, seluruh tenaganya, seluruh hartanya, seluruh pikirannya, bahkan sampai nyawanya, beliau persembahkan hanya untuk dakwah Islam, kerena kasih sayang yang begitu mendalam kepada ummatnya, hanya untuk pengabdian tertinggi kepada Allah swt.
Dan yang juga selalu kita ingat, puncak pengorbanan Nabi Ibrahim AS. dalam mencintai dan menaati Allah SWT., dengan menyembelih anak tercintanya, Nabi Ismail AS., merupakan sebuah mutiara kisah yang sangat berharga bagi ummat sepanjang masa.
Kita dapati dari berbagai sosok dan tokoh di atas, bahwasanya mereka adalah orang-orang besar dan istimewa. Mereka semua mempunyai cita-cita besar dan juga cinta yang sangat besar terhadap apa yang dicintainya itu. Dan satu hal yang sama di antara mereka adalah: pengorbanan.
Tidak ada cinta tanpa pengorbanan. Sebesar apa pengorbanan kita atas sesuatu, sebesar itu pula cinta kita atas sesuatu tersebut. Jangan mempercayai cinta seseorang tanpa adanya pengorbanan yang ia lakukan. Mereka berkorban bukan karena memperoleh sesuatu, tapi betul-betul tulus karena cintanya itu. Berkorban adalah bukti cinta. Seorang pecinta tidak pernah menanyakan apa yang ia dapatkan, tapi dia akan terus menanyakan kepada dirinya apa yang bisa ia berikan kepada yang dicintainya.
Begitu pula dengan cita-cita, tidak akan terwujud tanpa adanya pengorbanan. Seorang yang bercita-cita tinggi, akan melakukan segala daya upaya kebaikan, demi cita-citanya. Dalam hari-harinya tidak ada kata kalah, loyo, mengeluh, hanya duduk-duduk saja dan berbagai perilaku tidak produktif lainnya. Dia sangat optimis, sambil terus bertawakkal pada Allah.
Dalam berkorban untuk apa yang dicintainya dan apa yang dicita-citakan, tidak ada yang ‘enak’. Semuanya berat, sulit, tidak nyaman. Kita lihat apa yang dialami sosok-sosok di atas: capek, kedinginan, kepanasan, menahan kantuk, bau, bosan, terancam ketakutan, habis hartanya, berdarah, bahkan sampai di ujung kematian. Tapi mereka sosok-sosok besar yang tidak menyerah, mereka menikmati hal tak enak itu, tidak lain karena cinta dan cita-cita.
Dalam pepatah Arab berbunyi, wa maa ladzdzatu Illaa ba’dat ta’bi. Artinya “Tidak ada kenikmatan kecuali setelah kepayahan”. Bacalah kembali kisah dan perjuangan sosok-sosok seperti di atas, akan terdapat keindahan pengorbanan di dalamnya.
Sekarang, pertanyaan bagi diri kita masing-masing adalah, sejauh mana pengrobanan kita dalam berorganisasi, berpartai, bermasyarakat, berdakwah, berbangsa dan bernegara?
Mari kita mulai pupuk jiwa-jiwa pengorbanan ini, sedikit demi sedikit kita latih. Kita tumbuhkan rasa simpati, empati, dan solidaritas antar sesama. Kita latih jiwa kita agar mudah berkorban. Berkorban pikiran, tenaga, harta, dan semuanya. Sedikit pun, apa yang kita korbankan tidak ada yang hilang dan percuma. Karena ada akhirat hari pembalasan. Karena ada Allah Yang Maha Melihat, Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Selamat Hari Raya Idul Adha 1443 H. Semoga Allah SWT menerima segala amal baik kita.
Mahatir Kusuma Halik, S. Si
Ketua DPC PKS Kedungkandang
Kota Malang